Teori
Kebenaran Pengetahuan dan Teori Kebenaran Ilmiah (Tugas makul
Filsafat Ilmu)
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan
kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain
dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau
empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku
di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena
alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang
menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil
aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu
pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan,
menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat
untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah
satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi
fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang
lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu.
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap
kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur
terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah
pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Ilmu dicirikan dengan pemakaian
sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Metode
ilmu dapat bersifat sangat teoritis dan apriori dengan membuat unsur-unsur
bangunannya sendiri. Metode ilmu juga dapat bersifat empiris dengan unsur-unsur
bangunan yang seakan-akan diolah dari lingkungan.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang bersangkutan.
Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio
politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian
yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu
realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas
tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi
dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang
materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa
aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis
membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar
utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya
ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu
merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah
jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain,
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Jujun S.Suriasumantri, 1998).
Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan
berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Dalam sejarah filsafat,
sekurang-kurangnya ada empat teori yang berupaya untuk menjawab pertanyaan
tersebut secara filosofis. Keempatnya adalah: The Correspondence theory of
truth [teori kebebenaran sebagai persesuaian]; The Coherence Theory of truth
[teori kebenaran sebagai keteguhan]; The Pragmatic Theory of Truth [teori
pragmatis tentang kebenaran]; dan The Performative Theory of Thruth].
ARTI KEBENARAN
Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
A.
Pengertian
Kebenaran dan Tingkatannya
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
2.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah
pula dengan rasio
3.
Tingkat
filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran,
jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran.
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan
tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan
pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan
masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
a.
Definisi
Kebenaran
Dalam kamus
umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu:
a) Keadaan
yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
b) Sesuatu
yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya);
c)
kejujuran, ketulusan hati;
d) Selalu
izin, perkenanan;
e) Jalan
kebetulan.
b.
Jenis-jenis
Kebenaran
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga
jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu:
a)
Kebenaran
Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
b)
Kebenaran
Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala
sesuatu yang ada maupun diadakan.
c)
Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang
terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
B.
Sifat
Kebenaran Ilmiah
Karena
kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan
nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki
persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu
terlihat sifat-sifat dari kebenaran.
Sifat kebenaran dapat dibedakan
menjadi tiga hal, yaitu:
1.
Kebenaran
berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki
ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun.Pengetahuan itu berupa:
a)
Pengetahuan
biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan
seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat
terikat pada subjek yang mengenal.
b)
Pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik
dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli
sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai
dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
c)
Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan
yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan
menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat
kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
d)
Kebenaran
pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat
dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga
pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan
keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
2.
Kebenaran
dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat
apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Implikasi dari penggunaan alat untuk
memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang
dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya.
Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka
pembuktiannya harus melalui indera pula.
3.
Kebenaran
dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.
Membangun pengetahuan tergantung
dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek yang
berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat
subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya
mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.
Kebenaran dapat digunakan sebagai
suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Adapun kebenaran dapat berkaitan
dengan
1.
Kualitas
pengetahuan
Artinya bahwa setiap pengetahuan
dimiliki seseorang yang mengetahui suatu obyek ditinjau dari pengetahuan yang
dibangun. Pengetahuan tersebut berupa :
a.
Pengetahuan
biasa yang sifatnya subyektif\
b.
Pengetahuan
ilmiah yang bersifat relatif
c.
Pengetahuan
filasafati yang sifatnya absolut-intersubyektif
d.
Pengetahuan
agama yang bersifat absolut
2.
Karakteristik
cara membangun pengetahuan:
a.
Penginderaan/ sense experience
b. Akal
pikir/ ratio/ intuisi
c. Keyakinan
3.
Jenis pengetahuan
menurut kriteria karakteristik:
a.
Pengetahuan indrawi
b.
Pengetahuan akal budi
c.
Pengetahuan intuitif
d.
Pengetahuan kepercayaan/ pengetahuan otoritatif
e. Pengetahuan
lain-lain
4.
Ketergantungan
terjadinya pengetahuan, yang artinya bagaimana hubungan subjek dan objek. Bila
yang dominan subjek maka sifatnya subjektif, sebaliknya bila yang dominan objek
maka sifatnya objektif.
TEORI – TEORI KEBENARAN
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan
pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk
pengetahuan manusia, namun tidk semua hal itu langsung kit golongkan sebagai
ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan
ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan
pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang kebenaran, diantaranya
tiga yang utama, yakni: Pertama, teori kebenaran ebagai persesuaian (the
correspondence theory of truth), disebut juga teori korespondensi; teori
kebenaran sebagai peneguhan (the coherence theory of truth), atau disebut juga
sebagai teori koherensi; dan ketiga, teori pragmatis (the pragmatis theory of
truth).
1.
Teori
Koresondensi / Teori Persesuaian (The Correspondence theory of truth)
Teori ini
sampai tingkat tertentu sudah dimunculkan Aristoteles, mengatakan hal yang ada
sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sebaliknya,
mengatakan yang ada sebagai ada, atau yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah
benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran
sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang
dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang
dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu.
Menurut
teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai
tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat
pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.
Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena
kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah
pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide,
konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi
benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu.
Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok
bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul
dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan
kenyataan.
Berkaitan dengan teori ini, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu:
pertama, teori ini sangat ditekankan oleh aliran empirisisme yang mengutamakan
pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia.
Maka, teori ini sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris
untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, teori ini
lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan
yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.
Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subjek dan objek,
antara si pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualitas tersebut,
teori ini lalu menekankan pentingnya objek bagi kebenaran pengetahuan manusia.
Bahkan bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengatahuan manusia
adalah objek. Subjek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang
diberikan oleh objek. Ketiga, teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi
kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori
oleh akal budi. Bukti ini bukan konstruksi akal budi, bukan hasil imajinasinya,
melainkan adalah apa yang disodorkan oleh objek yang dapat ditangkap oleh panca
indera manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya jika apa yang
dinyatakan dalam proposisi sesuai kenyataan sebagaimana diungkapnya.
Maka, yang disebut sebagai pembuktian atau justifikasi adalah proses
menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau hipotesis. Persoalan yang
muncul sehubungan dengan teori ini adalah bahwa semua pernyataan, proposisi,
atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris, oleh kenyataan faktual
apapun, tidak akan dianggap benar. Jadi mislanya, “ada Tuhan Yang Maha Kuasa”
tidak dianggap sebagai suatu kebenaran jika tidak didukung oleh bukti empiris
tertentu. karena itu, pernyataan tersebut bukanlah pengetahuan, melainkan keyakinan.
Pernyataan “Indonesia adalah sebuah negara demokratis”, tidak akan dianggap
kebenaran jika tidak didukung oleh fakta empiris.
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi
(corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu
kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan
dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.
Dengan demikian ada lima unsur yang
perlu yaitu :
a.
Statemaent
(pernyataan)
b.
b.
Persesuaian (agreemant)
c.
Situasi
(situation)
d.
Kenyataan
(realitas)
e.
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive
reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran
realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh
Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad
moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini.
Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian
moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai
moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam
tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan
nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara
peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai
adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard
atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan)
termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek
(realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2.
Teori
Konsistensi atau Teori Koherensi (The Coherence Theory of Truth)
Jika teori kebenaran sebagai persesuaian dianut oleh kaum empiris, maka teori
yang kedua ini, yaitu teori kebenaran sebagai keteguhan, dianut oleh kaum
rasionalis seperti Leibniz, Benedictus Spinoza, Descartes, George Hegel, dlsb.
Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisin
dengan kenyataanmelainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi
yang sudah ada. maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau
hipotesis dianggap benar jika proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi
sebelumnya yang dianggap benar. Bagi kaum rasionalis, pengetahuan tidak mungkin
bisa keluar dari pikiran atau akal budi manusia untuk berhadapan langsung
dengan realitas, dan dari situ bisa diketahui apakah pengetahuan itu benar atau
tidak.Matematika dan ilmu-ilmu pasti lainnya sangat menekankan teori ini.
Menurut para
penganut teori ini, mengatakan bahwa suatu pernyataan atau proposisi benar atau
salah, adalah mengatakan bahwa proposisi itu berkaitan dan meneguhkan proposisi
atau pernyataan yang lain atau tidak. Dengan kata lain, pernyataan itu benar
jika pernyataan itu cocok dengan sistem pemikiran yang ada. Maka kebenaran
sesunguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari sistem pemikiran yang
ada. Misalnya:
(1) Semua
manusia pasti mati;
(2) Sokrates adalah manusia;
(3) Sokrates pasti mati.
Kebenaran
(3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu (1)
Semua manusia pasti mati, dan (2) Sokrates adalah manusia. Dalam arti ini,
kebenaran (3) sesungguhnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena
itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyataannya Sokrates
mati atau tidak.
Contoh lain,
“Lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Bagi
kaum empiris yang menganut kebenaran sebagai persesuaian, untuk mengetahui
kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan percobaan dengan memasukkkan lilin ke
dalam air yang sedang mendidih, untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai
dengan kenyataan atau tidak. Bagi kaum rasionalis, yang menganut kebenaran
sesuai keteguhan, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu, kita cukup
mengecek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya. Apakah
pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan itu benar
karena lilin terbuat dari bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu
60 derajat Celcius. Karena arti “mendidih” ada pada suhu 100 derajat Celcius,
maka dengan sendirinya lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang
sedang mendidih. “Lilin mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang
mendidih” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas.
Pernyataan itu benar karena meneguhkan realitas. Pernyataan itu benar karena
meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parifin yang selalu mencair
pada suhu 60 derajat Celcius, dan juga sejalan dengan pernyataan lain bahwa air
mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Dengan kata lain, pernyataan “Lilin
mendidih jika dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” hanya merupakan
konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan tadi.
Hal ini
dapat dijelaskan dengan cara lain. Ada pernyataan, “Lilin mendidih jika
dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. Timbul pertanyaan, “Mengapa?”
atau “Bagaimana anda tahu?” Kaum empiris akan mengatakan: “Coba saja, dan
buktikan apakah benar atau tidak”. Kaum rasionalis akan menjawab: “Mudah saja.
Lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mendidih pada suhu 60 derajat
Celcius. Air baru mendidih pada suhu 100 derajat Celcius. Maka kesimpulan
logisnya: “Lilin pasti dengan sendirinya akan mencair jika dimasukkan ke dalam
air yang sedang mendidih.”
Dari uraian
di atas bisa dilihat dengan jelas bahwa, pertama, teori kebenaran sebagai
keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja
deduktif. Dalam hal ini berarti, pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau
diturunkan sebagai konsekwensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah
ada, dan yang sudah dianggap benar. Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan
atau pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan
kenyataan yang ada. Bagi kaum rasionalis, “Lilin mendidih jika dimasukkan ke
dalam air yang sedang mendidih” sudah merupakan suatu pengetahuan yang
kebenarannya sudah diandaikan dan diketahui secara apriori. Sama halnya juga
dengan hukum inflasi atau hukum penawaran dan permintaan. Kedua, dengan
demikian teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan
pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian sama artinya dengan validasi:
memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang
diperoleh secara valid (sahih) dari proposisi lain yang telah diterima sebagai
benar.
Salah satu
kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran
suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan
lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya,
kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan
sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga
akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi
gerak putar tanpa henti. Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori
kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan
teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentukita
tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan
merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara
apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas
untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.
Sebagai
perbandingan, kita dapat membuat pembedaan antara kebenaran empiris dan kebenaran
logis sebagai berikut:
• Kebenaran
Empiris:
1)
mementingkan objek
2)
menghargai cara kerja induktif dan aposteriori dan
3) lebih mengutamakan
pengamatan indera.
• Kebenaran
Logis:
1)
mementingkan subjek;
2)
menghargai cara kerja deduktif dan apriori
3) lebih
mengutamakan penalaran akal budi.
Pentingnya kedua kebenaran ini
sangat ditekankan oleh Imanuel kant. Bagi Kant, baik akal budi maupun panca
indera mempunyai peran penting untuk melahirkan pengetahuan manusia. Karena
syarat mutlak bagi adanya pengetahuan adalah kebenaran, Kant pun sangat
menekankan baik kebenaran logis yang diperoleh melalui penalaran akal budi,
maupun kebenaran empiris yang diperoleh dengan bantuan panca indera yang
menyodorkan data-data tertentu. Pentingnya kedua kebenaran ini secara saling
menunjang terutama agar kita tidak terjebak pada silogisme dan retorika kosong.
Karena seringkali suatu pernyataan sangat benar dari segi logis, tetapi sama
sekali tidak didukung oleh fakta empiris. Banyak ahli atau pengamat sosial
melontarkan pernyataan yang sangat rasional dan sulit terbantahkan secara
logis, namun sama sekali tidak benar karena tidak didukung fakta. Inilah yang
sering membuat kita terkecoh. Tetapi sebaliknya pernyataan yang didukung oleh
fakta, haruslah bisa dijelaskan secara rasional (masuk akal) untuk menunjukkan
keterkaitannya yang rasional. Maka, kebenaran ilmiah haruslah memenuhi kedua
kriteria: empiris dan rasional.
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil
test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari
satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk
menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan
realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya
dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena
itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering
dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran
pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah
bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat
melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan
teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti
kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti
kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan
benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten
dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah truth is a
sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika
ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan
juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan
tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau
dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan
sendirinya.
3.
Teori
Pragmatisme (The Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatis
tentang kebenaran ini dikembangkan dan dianut oleh para pilosof pragmatis dari
Amerika seperti Charles Sanders Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis,
kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau
hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang
paling mampu memungkinkan seseorang—berdasarkan ide itu—melakukan sesuatu
secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain, berhasil dan berguna
adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak.
Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan
terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang. Maka, konsep
solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimal oleh tiga penumpang”.
Ide tersebut benar jika ide itu berguna atau berhasil memecahkan persoalan
kemacetan.
Piecre mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau mempunyai
konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. artinya, jika ide itu benar, maka
ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan suatu persoalan dan
menentukan perilaku manusia.
William
James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya
tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap
kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan
kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi
James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan
timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi
praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru.
Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang
berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide
yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita
memenuhi kebutuhan kita.
Dengan
demikian bagi William James, ide yang benar adalah ide yang dalam penerapannya
paling berguna dan paling behasil memungkinkan manusia bertindak atau melakukan
sesuatu. Artinya, jika ide tertentu itu benar, maka ide itu akan berguna dan
berhasil membantu manusia untuk bertindak secara tertentu. maka kebenaran, sama
dengan berguna atau kebergunaan. Ide yang berguna lalu berarti ide yang benar
dan sebaliknya.
Ini berarti
pula, suatu ide yang benar akan memungkinkan kita dan menuntun kita untuk
sampai pada kbenaran, atau memungkinkan kita untuk sampai pada apa yang diklaim
dalam ide atau pernyataan tersebut. Contohnya, ide tentang kinerja sebagai
berbanding lurus dengan reward atau appraisal. Ide ini benar jika naiknya
jaminan bagi pekerja ternyata meningkatkan kinerja atau produktifitas pekerja.
Benar, dengan demikian, sama artinya dengan berfungsi, berlaku. Ide yang benar
adalah ide yang berfungsi dan berlaku membantu manusia bertindak secara
tertentu secara berhasil. Maka menurut Jhon Dewey dan William James, ide yang
benar sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara berhasil.
Kebenaran
yang terutama ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah kebenaran yang
menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know-how). Suatu ide yang benar adalah ide
yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Dalam hal
ini, kaum pragmatis sesungguhnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum
rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi mereka suatu
kebenaran apriori hanya benar bila kalau kebenaran itu berguna dalam
penerapannya yang memunginkan manusia bertindak secara efektif. Demikian pula,
tolok ukur kebenaran suatu ide bukanlah realitas statis, melainkan realitas
tindakan. Jadi, keseluruhan kenyataan yang memperlihatkan kebergunaan ide
tersebut.
Bagi Jhon Dewey, jika kita mau memahami apa pengaruh, dan juga kebenaran, suatu
ide atas pengalaman dan kehidupan kita, kita harus melihat bagaimana ide
tersebut berlaku dan berfungsi dalam penggunaannya. Atau bagaimana ide tersebut
membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Bagi kaum pragmatis,
yang penting bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstark. Melainkan sejauh
mana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam
kehidupan kita dengan menggunakan ide-ide itu. Maka bagi kaum pragmatis, ide
yang benar bukanlah demi ide begitu saja, melainkan demi kehidupan manusia.
Konsekuensinya, semakin berguna sebuah ide untuk memecahkan persoalan-persoalan
praktis, maka ide itu akan dianggap paling benar.
Dewey dan
kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan
ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan
awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian
menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan
tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima.
Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan
kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan
tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman
manusia.
Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya,
suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Oleh
karena itu, William James menolak untuk memisahkan kebenaran dari nilai moral.
Kebenaran merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran manusia sampai
pada sesuatu secara berhasil. Maka, William James menolak kebenaran
rasionalistis yang hanya memberikan definisi-definisi yang abstrak tanpa punya
relevansi bagi kehidupan praktis. Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah
bahwa kebenaran rasional jangan hanya berhenti di situ saja. Melainkan perlu
diterapkan sehingga sungguh-sungguh berguna bagi manusia. Atas dasar itu, kita
tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan pengetahuan mengapa”, tetapi
juga kita membutuhkan “pengetahuan bagaimana”.
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John
Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar
terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey
konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan
ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti
obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui
kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala
sesuai melalui praktek di dalam program solving.Pragmatisme menguji kebenaran
dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau metode
problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka
berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia
selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu
menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat
barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah
teori yang benar (kebenaran).
Menurut
teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan
yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,
batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)
dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori
ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Akibat/
hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
a. Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
b. Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen
c. Ikut
membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori kebenaran pragmatis adalah
teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada
konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia
untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari
keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu
pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan
kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa
jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat
sebesar mungkin bagi manusia.
Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik temu berbagai
disiplin ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling kaya dan paling
padat. Ilmu pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan keselamatan
manusia. Pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri,
tujuan-tujuannya dan cara-cara pengembangannya ternyata belum dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan yang materialis-pragmatis tanpa referensi kepada
nilai-nilai moralitas.
Aksiologi ilmu pengetahuan modern
yang dibingkai semangat pragmatis-materialis ini telah menyebabkan berbagai
krisis lingkungan hidup, mulai dari efek rumah kaca akibat akumulasi berlebihan
CO2 , pecahnya lapisan ozon akibat penggunaan freon berlebihan, penyakit minimata
akibat limbah methylmercury hingga bahaya nuklir akibat persaingan kekuasaan
antar negara. Ketiadaan nilai dalam ilmu pengetahuan modern yang menjadikan
sains untuk sains, bahkan sains adalah segalanya, telah mengakibatkan krisis
kemanusiaan. Krisis lingkungan dan kemanusiaan, mulai dari genetic engineering
hingga foules solitaire (kesepian dalam keramaian, penderitaan dalam
kemelimpahan). Manusia telah tercerabut dari aspek-aspek utuhnya, cinta,
kehangatan, kekerabatan, dan ketenangan. Kedua krisis global ini telah
menghantui sebagian besar lingkungan dan masyarakat modern yang
materialis-pragmatis.
4.
Kebenaran
Religius atau teori kebenaran performatif (The Performative Theory of Thruth)
Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Jhon Austin, dan
Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi
yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf
ini.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan
realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapijusteru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana
yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat
anda sebagai manager perusahaan TX”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah
realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan TX.
Di satu
pihak, teori ini dapat dipakai secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula
negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan
apa yang dinyatakannya. “Saya bersumpah akan menjadi suami yang setia”. Tetapi
secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya
seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Misalnya, “Saya
berdoa agar kamu berhasil”, seolah-olah dengan pernyataan itu ia berdoa,
padahal tidak. Atau, “saya bersumpah, saya berjanji akan setia”, seakan-akan
dengan janji itu ia setia. Kita semua bisa terjebak dengan pernyataan seperti
itu seolah-olah dengan dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas
seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan, belum dengan sendirinya
mennjadi realitas
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran
bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena
kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi
ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebanaran ini :
Agama sebagai
teori kebenaran
Ketiga teori
kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan
sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber
dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan
kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai
dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran
mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas
segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
Teori ini
menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai
terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus
(1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang
diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase
hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang
otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil
dan sebagainya.
Masyarakat
yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka
tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan
rasio untuk mencari kebenaran.
5.
Teori
Kebenaran Konsensus
Suatu teori
dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian
fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah
tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima
secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma
oleh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama
oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat
sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa
menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota
kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan
keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai
keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian
suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari
kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan
masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu
teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang
memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi . Proses verifikasi-falsifikasi
memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya
penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Pengalihkesetiaan
dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak
dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan
relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang
pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai
masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai
peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama
yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler
dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam
konversi para astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori
relativitas umum Einsten mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin melengkung.
Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang,
waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi ulang. Hanya
orang-orang yang bersama-sama menjalani atau gagal menjalani transformasi akan
bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati dan apa yang tidak.
KESIMPULAN
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula
tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan
di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan
dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber
dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan
hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif
terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal.
Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera,
ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio,
intelektual). Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian
manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi
subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan
nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.